DKP PROVINSI NTT

Pengarusutamaan dan Inisiasi OECM di NTT: Membangun dan Identifikasi Pengelolaan Berbasis Masyarakat untuk Masa Depan Lestari

Pengarusutamaan dan Inisiasi OECM di NTT: Membangun dan Identifikasi Pengelolaan Berbasis Masyarakat untuk Masa Depan Lestari

Pengelolaan kawasan laut yang berkelanjutan terus menjadi perhatian penting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut yang tinggi, NTT menjadi lokasi strategis dalam inisiasi Other Effective Area-based Conservation Measures (OECM). OECM merupakan pendekatan inovatif yang mengakui pengelolaan berbasis masyarakat untuk memberikan dampak konservasi tanpa harus mengubah kawasan menjadi area konservasi formal seperti Kawasan Konservasi Laut (KKL). Yayasan WWF Indonesia bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT berupaya mendorong pengarusutamaan OECM untuk memperkuat tata kelola berbasis masyarakat di wilayah ini.

Gambar 1. Ibu Stefania T. Boro, Sekretaris DKP Provinsi NTT, secara resmi membuka dan memberikan sambutan, menegaskan pentingnya pendekatan berbasis masyarakat dalam pengelolaan wilayah perairan Provinsi NTT

 

Pada 28-29 November 2024, DKP Provinsi NTT menggelar lokakarya bersama WWF Indonesia di Kupang untuk membahas potensi dan pengembangan OECM. Kegiatan ini dilandasi pemahaman bahwa pendekatan berbasis OECM mampu menjadi solusi komplementer terhadap KKL. Dengan luas potensi yang teridentifikasi sebesar 88.000 hektar, OECM diharapkan mampu mengurangi tekanan pada kawasan konservasi, sekaligus memperkuat peran masyarakat dalam menjaga ekosistem mereka. Lokakarya  ini melibatkan multistakeholder diantaranya Cabang Dinas Wilayah I Kabupaten TTS, TTU, Belu, dan Malaka, UPTD Pengelola Taman Perairan Kepulauan Alor dan Laut Sekitarnya, Cabang Dinas Wilayah II Kabupaten Lembata, Flores Timur, dan Sikka, Cabang Dinas Wilayah III Kabupaten Ende, Ngada, dan Nagekeo, Cabang Dinas Wilayah IV Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat, Cabang Dinas Wilayah V Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah, Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Denpasar Wilker NTT, Fakultas Perikanan, Universitas Muhamadiyah Kupang, Fakultas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Undana, Fakultas Perikanan, UKAW, Jurusan Perikanan dan Kelautan, Politani Kupang, PT Matsyaraja Arnawa Stambhapura, Yayasan Pesisir Lestari, Yayasan Konservasi Indonesia. Salah Satu Narasumber dari kegiatan ini dari Direktorat Konservasi Ekosistem Biota Perairan (KEBP), Leny Dwihastuty S.Pi M.Si.

Gambar 2. Ibu Leny perwakilan dari Direktorat Konservasi Ekosistem dan Biota Laut (KEBP) memberikan pemaparan mendalam tentang konsep dan kriteria OECM.

 

Gambar 3. Foto bersama para peserta kegiatan Pengarusutamaan dan Inisiasi OECM di Provinsi NTT. Kolaborasi lintas instansi, mitra pembangunan, Private sector dan masyarakat lokal menjadi langkah penting dalam mendukung pengelolaan berbasis Masyarakat.

 

Dalam lokakarya tersebut, Yayasan WWF Indonesia memberikan pengantar terkait definisi dan kriteria OECM. OECM didefinisikan sebagai Kawasan diluar Kawasan konservasi yang dikelola pemerintah sehingga bisa dikelola oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat, dengan menggunakan tata kelola yang berdampak positif secara ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya. Konsep ini tidak hanya memberikan pengakuan atas kearifan lokal yang telah berjalan, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam praktik sehari-hari Masyarakat, tutur Kusnanto sebagai act Project Leader for Lesser Sunda Subseascape Yayasan WWF Indonesia.

DKP Provinsi NTT melaui ibu Stefania T. Boro selaku Sekretaris DKP Provinsi NTT menyampaikan apresiasi atas inisiatif ini, mengingat banyaknya praktik masyarakat yang telah mendukung tujuan konservasi secara informal. Salah satu contoh nyata adalah Desa Tanjung Boleng di Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat, yang telah mengelola kawasan perairan mereka dengan pendekatan berbasis menjaga situ-situs penting masyarakat. “Model seperti ini diharapkan dapat direplikasi di wilayah lain Kabupaten lain di NTT”, tegas ibu Stefania T. Boro.

OECM juga menjadi solusi strategis untuk mencapai target konservasi nasional yang ditetapkan sebesar 30% pada tahun 2045. DKP Provinsi NTT bersama WWF Indonesia melihat peluang untuk mengintegrasikan OECM ke dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Dengan demikian, status legal OECM dapat lebih diperkuat, sekaligus mendukung kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara lebih holistik.

Pendekatan ini membutuhkan sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga non-pemerintah. Universitas dan LSM lokal turut berkontribusi dengan mengidentifikasi potensi kawasan yang dapat dimasukkan ke dalam skema OECM. Misalnya, di Kabupaten Ende, masyarakat telah merumuskan buka tutup yang dikelola secara keraifan lokal, termasuk penerapan yang sudah termuat dalam Peraturan Desa. Praktik ini menunjukkan bagaimana OECM dapat memanfaatkan kerangka hukum lokal untuk mendukung tujuan konservasi.

Meskipun memiliki potensi besar, pengembangan OECM di NTT juga menghadapi tantangan. Keterbatasan sumber daya manusia, pendanaan, dan kepastian regulasi menjadi kendala utama yang perlu diatasi. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan intensif untuk memastikan tata kelola OECM berjalan secara efektif. Yayasan WWF Indonesia berkomitmen untuk memfasilitasi pelatihan dan dialog multipihak guna memperkuat kapasitas masyarakat dalam pengelolaan OECM sesuai lokasi kerja yang saat ini yaitu di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Alor.

Selain itu, penting untuk memastikan bahwa pendekatan OECM tidak bertentangan dengan zonasi yang telah ditetapkan. DKP Provinsi NTT menekankan prinsip kehati-hatian dalam mengintegrasikan OECM ke dalam tata ruang pesisir. Setiap keputusan harus melalui proses konsultasi yang transparan dengan masyarakat untuk menghindari potensi konflik.

Dengan dukungan pemerintah dan masyarakat, OECM dapat menjadi landasan penting dalam melestarikan ekosistem laut dan mendukung kesejahteraan masyarakat lokal. Inisiasi OECM di NTT diharapkan tidak hanya memberikan manfaat ekologis, tetapi juga memperkuat identitas budaya masyarakat sebagai penjaga laut.

Keberhasilan pengarusutamaan OECM di NTT dapat menjadi inspirasi bagi provinsi lain di Indonesia. Sebagai pilot project, NTT memiliki peluang untuk menunjukkan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat mampu menjawab tantangan konservasi sekaligus memberikan manfaat langsung bagi komunitas lokal. Ada sekitar 11 Titik Desa pesisir yang ada di Provinsi NTT yang berpotensi tinggi dari total 24 titik dalam identifikasi dan kriteria OECM. Wilayah berpotensi tinggi tersebut masuk dalam 4 Kabupaten yaitu Kabupaten Manggarai barat, kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Ende dan Kabupaten Flores Timur.

Gambar 4. “Suasana diskusi interaktif dalam kegiatan Pengarusutamaan dan Inisiasi OECM di Provinsi NTT. Para peserta dari berbagai instansi dan mitra pembangunan berbagi perspektif untuk mengidentifikasi potensi kawasan OECM Perairan”

 

Pada akhirnya, inisiatif ini menjadi langkah maju dalam memastikan bahwa generasi mendatang dapat menikmati kekayaan laut yang sama seperti yang kita miliki hari ini. Dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan akan menjadi kunci dalam mewujudkan visi tersebut.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top