Pemetaan partisipatif menjadi salah satu strategi utama dalam mengelola area perairan berbasis masyarakat di Desa Tanjung Boleng, Kabupaten Manggarai Barat. Dalam kegiatan yang berlangsung pada Oktober – Desember 2024, DKP Provinsi NTT, Cabang Dinas KP NTT Wilkab Manggarai Raya, PSDKP Labuan Bajo, Pemerintah Kabupaten (Dispar, DKPP, DPMD, dan Penyuluh Perikanan), Politeknik eLbajo Commodus, Yayasan WWF Indonesia dan Yayasan Garis Pantai Nusantara melibatkan masyarakat lokal untuk mengidentifikasi dan memetakan wilayah tangkapan ikan dan wilayah pemanfaatan pariwisata yang memiliki dampak konservasi ekologis, sosial, dan budaya.
Kegiatan ini dimulai dengan diskusi perencanaan yang melibatkan pemerintah desa dan masyarakat. Dalam proses ini, Diskusi dilakukan untuk memastikan tujuan pemetaan selaras dengan kebutuhan dan harapan masyarakat lokal, termasuk perlindungan ekosistem serta keberlanjutan mata pencaharian nelayan setempat.
Pada 21-23 Oktober 2024 dan 9 Desember 2024, tim melaksanakan analisis sosial, ekonomi, dan budaya di Dunun Kampung Pisang, Dusun Rangko dan Dusun Boleng Darat. Data menunjukkan mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan, dengan hasil tangkapan utama seperti ikan sencara, sunu, dan kembung. Selain itu, wawasan masyarakat tentang pentingnya pengelolaan laut untuk mendukung keberlanjutan diidentifikasi sebagai potensi awal yang kuat.
Puncak kegiatan berlangsung pada 10 Desember 2024 dengan penyampaian hasil pemetaan area kelola perairan berbasis masyarakat. Wilayah seluas 9.222,69 hektar disepakati sebagai area yang akan dikelola berdasarkan batas-batas yang telah dirumuskan bersama. Konsep OECM (Other Effective Area-Based Conservation Measures) menjadi acuan utama dalam menetapkan kebijakan pengelolaan berbasis masyarakat ini.
Hasil diskusi menetapkan pembentukan lembaga pengelola yang mencakup berbagai elemen masyarakat seperti kelompok sadar wisata, pengawas masyarakat, UMKM pengolahan hasil perikanan, perikanan tangkap dan budidaya, serta tokoh adat dan agama. Keterlibatan perempuan juga diprioritaskan dalam struktur lembaga tersebut untuk memastikan inklusivitas dan keberlanjutan.

Matius E. Wiriadi Selaku Sekretaris Desa Tanjung Boleng menyampaikan “Sebagai langkah konkret, pemerintah desa bersama mitra pembangunan sepakat untuk segera menyusun peraturan tertulis. Peraturan ini mencakup larangan penggunaan alat tangkap destruktif seperti bom, potasium, dan pukat trawl, serta pembatasan aktivitas kapal besar (>5 GT) di perairan dekat pantai. Selain itu, aturan pelaporan bagi nelayan luar desa diusulkan untuk meningkatkan pengawasan”.
Dalam rangka memperkuat dasar hukum, rancangan peraturan desa (Ranperdes) direncanakan untuk diajukan pada Januari 2025. Hal ini diharapkan dapat memberikan legitimasi bagi pengelolaan wilayah perairan berbasis masyarakat di Desa Tanjung Boleng. Selain itu, Ranperdes ini akan menjadi acuan untuk mendorong pengelolaan perairan yang lebih efektif dan berbasis kearifan lokal.

Pemetaan partisipatif juga memperhatikan aspek teknis, seperti penggunaan peta buta untuk melibatkan masyarakat dalam proses penentuan batas wilayah. Selama workshop, peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk memetakan area penangkapan ikan, situs sejarah, dan potensi lainnya. Hasilnya dipresentasikan oleh masyarakat, mencerminkan kepemilikan atas proses dan hasil pemetaan.
Antien Susy S dari Yayasan Garis Pantai Nusantara Menyampaikan “Ground check menjadi bagian integral dari kegiatan ini. Dengan menggunakan perangkat GPS, peserta dilatih untuk menandai titik-titik lokasi strategis seperti habitat ekosistem, taka, dan area penangkapan ikan. Data ini kemudian diverifikasi di lapangan untuk memastikan kesesuaian dengan peta yang dihasilkan”.
Selain upaya konservasi, kegiatan ini juga mengidentifikasi tantangan yang dihadapi masyarakat, seperti konflik dengan nelayan dari luar daerah dan dampak aktivitas penangkapan ikan destruktif. Pelatihan tentang pengelolaan perairan dan alternatif mata pencaharian seperti peternakan turut diusulkan untuk meningkatkan adaptasi masyarakat terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Kusnanto selaku Project Leader dari Yayasan WWF Indonesia menegaskan “Pemetaan partisipatif di Desa Tanjung Boleng menunjukkan bahwa pendekatan berbasis Masyarakat tidak hanya mampu mengidentifikasi potensi konservasi tetapi juga memberikan solusi yang relevan bagi masyarakat lokal. Dengan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan mitra pembangunan, langkah ini diharapkan menjadi model pengelolaan perairan berbasis masyarakat yang berkelanjutan di Indonesia”.

Komitmen untuk melanjutkan inisiatif ini terlihat jelas dari rencana tindak lanjut yang mencakup penyusunan peraturan, penguatan lembaga pengelola, serta pembaruan data secara berkala. Desa Tanjung Boleng kini tidak hanya menjadi bagian dari upaya konservasi tetapi juga motor penggerak pembangunan berkelanjutan berbasis Masyarakat yang muda-mudahan menjadi contoh di desa pesisir di NTT.